Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tata Cara I'tikaf: Makna Dan Sunnahnya

I'tikaf 

A. Makna Itikaf

Makna I'tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah swt. I'tikaf hanya boleh dilakukan di masjid tidak boleh dilakukan di mushalla, rumah, ataupun sekolah. Karena Allah swt menetapkan tempat I'tikaf itu adalah di masjid. Allah berfirman dalam (QS. Al-Baqarah ayat 187) yang berbunyi: 

"Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-I'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah ayat 187).

B. Landasan Hukum I'tikaf

I'tikaf merupakan salah satu amalan utama dan ketaatan agung. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Nabi Saw beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau."

I'tikaf disariatkan untuk kita dan umat-umat sebelum kita. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 125 yang berbunyi : 
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!” (QS. Al-Baqarah ayat 125).

C. Syarat-Syarat I'tikaf

1. Niat. Orang yang hendak beri'tikaf berniat tetap berada di masjid untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah Swt, berdasarkan sabda Nabi Saw: "Sesungguhnya setiap perbuatan ini bergantung pada niat, dan seseorang akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan."

2. Masjid yang digunakan untuk beri'tikaf digunakan untuk shalat berjamaah. Untuk itu, i'tikaf tidak sah dilakukan di selain masjid, berdasarkan firman Allah Swt, "Tetapi jangan kamu campuri mereka, kerika kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah ayat 187). 

Juga berdasarkan praktek nyata nabi Saw, karena i'tikaf yang dilaksanakan di masjid yang tidak digunakan shalat berjama'ah, mengharuskan orang yang beri'tikaf untuk meninggalkan shalat berjamaah yang wajib baginya, atau membuat orang yang beri'tikaf berulang kali keluar meninggalkan masjid setiap saat. Ini menafikan tujuan I'tikaf.

Bagi wanita, sah untuk beri'tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah ataupun tidak. Dengan catatan, i'tikaf yang ia lakukan ini tidak menimbulkan fitnah. Jika mengundang fitnah, wanita tidak boleh beri'tikaf.

Lebih baiknya, i'tikaf dilaksanakan dimasjid yang digunakan untuk shalat jum'at. Hanya saja ini bukan syarat I'tikaf.

3. Suci dari hadasr besar. Tidak sah I'tikaf orang junub, wanita haid ataupun nifas, karena mereka ini tidak boleh bertahan lama di masjid.

D. Hal Hal Yang Disunatkan Bagi Orang Yang Ber-I'tikaf

1. Menyibukkan diri dengan ibadah, bukan dengan ilmu, kecuali sesuatu yang langka yang jika tidak dia segerakan mempelajarinya, dia akan kehilangannya, maka ketika demikian menyibukkan dirinya dengan (ilmu) lebih afdhal dari pada I'tikaf.

2. Menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun perbuatan; karena sabda Rasulullah saw: "Diantara (tanda) bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (Shahih). HR. At-Tirmidzi (2317) dan Ibn Majah (3976). Dishahihkan oleh Al-'Allamah Al-Albani -Rahimahullah - dalam Shahih ul-Jaami' (5911).

Kemudian beliau sendiri pernah I'tikaf pada sepuluh hari pertama, kemudian pada sepuluh hari pertengahan. Sesudah itu manakala dikatakan kepada beliau bahwa Lailatul Qadar itu berada pada sepuluh hari terakhir, beliau tidak i'tikaf pada tahun berikutnya kecuali pada sepuluh terakhir.

Oleh karena itu, siapa yang ber i'tikaf pada bulan selain Ramadhan, maka ia tidak dianggap berbuat Bid'ah, dan kita tidak melarangnya dari hal tersebut; bahwa ia ditolerir dengan apa yang berasal dari izin beliau kepada Umar.

E. Kapan seseorang boleh keluar tempat I'tikafnya?


Ketika ada keperluan mendesak yang harus dikerjakan (seperti makan, minum, dan buang air besar). Adapun yang tidak boleh keluar karenanya, seperti menjenguk orang yang sakit dan melayat jenazah, maka ia tidak boleh keluar kepadanya kecuali jika ia mensyaratkan hal tersebut sejak awal, dan ini diqiyaskan kepada sabda Rasulullah saw, "Hajilah dan syaratkanlah." 


Namun, jika orang yang sakit tadi memiliki hak atasnya dan diduga akan meninggal dunia, sementara jika ia tidak menghubunginya dapat dianggap memutuskan silaturahmi, maka ini termasuk hal yang mendesak.

Apakah orang yang sedang berI'tikaf boleh dikunjungi oleh seseorang dari kerabatnya untuk berbincang-bincang sejenak?


Ya, boleh, karena hadist yang termuat dalam shahih ul-Bukhari dan Shahih ul-Muslim bahwa Shafiyah binti Huyay pernah mengunjungi Nabi Muhammad saw di tempat I'tikafnya serta berbincang-bincang dengannya sejenak, dan karena hal tersebut dapat menimbulkan keakraban, dan ini termasuk maqaashid syara.

Posting Komentar untuk "Tata Cara I'tikaf: Makna Dan Sunnahnya"